Jumat, 26 Oktober 2018

budaya "NGAYAH" di Bali

“NGAYAH”
Payah, Layah, Sing Mebayah


Om Swastiastu
Halo,, apa kabar para pengunjung blog ini...? Semoga selalu dalam keadaan baik ya..
Hasil gambar untuk gotong royong
sumber gambar dari google
Ini merupakan tulisan pertama penulis. Nah,, kali ini penulis akan membahas suatu budaya masyarakat di Indonesia yaitu budaya “gotong royong”,  dan bagi umat Hindu di Bali dikenal dengan istilah “ngayah”.
Ya tentu saja,,, Indonesia memang terkenal dengan semangat gotong royongnya. 
            Gotong royong sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia sejak zaman dulu. Namun masing-masing masyarakat memiliki tradisi gotong royongnya sendiri.  
Di Bali, gotong royong atau yang lebih dikenal dengan istilah "ngayah" atau yang sering diplesetkan dalam bahasa Bali menjadi arti "payah, layah, sing mebayah" yang diartikan bahwa ngayah merupakan sesuatu yang melelahkan, membuat lapar, dan tidak dibayar. Namun demikian, begitulah aslinya orang Bali dan umumnya masyarakat Indonesia yang ramah tamah, dan suka menolong. Ngayah sudah menjadi suatu kebiasaan.  Bukan hanya untuk kegiatan sosial, namun juga sebagai perintah agama. Dapat dikatakan juga dengan istilah “Dharma Negara” dan “Dharma Agama”. Dalam berbagai kegiatan keagamaan, ngayah itu bagaikan “oksigen” yang merupakan suatu kebutuhan hakiki dan juga bagaikan “air dan api kosmis” yang mencuci keruh-keruh karma kita dan membakar kemalasan.
Apa sih sesungguhnya arti dan makna ngayah dalam kehidupan keagamaan? Mengapa dan apa tujuan dari ngayah ini? Kesimpulannya bagaimana, apakah ngayah ini perlu dilakukan dan dipertahankan? 
Berikut akan penulis jelaskan lebih lengkapnya, yang dimulai dari sejarah ngayah itu sendiri.
Ngayah merupakan suatu kewajiban sosial masyarakat Hindu Bali sebagai penerapan dari ajaran agama. Dan secara harfiah, ngayah berarti melakukan pekerjaan tanpa mendapat upah (kamus Bali-Indonesia,1990). Istilah ini diadopsi dari konteks politik dan kultur dari raja-raja Bali pada zaman dulu. Ngayah berasal dari akar kata “ayah” yang terpancar dari budaya PURUSAISME (garis keturunan ayah), terutama berkaitan dengan sistem pewarisannya. Kemudian menjadi “ayahan” yang secara spesifik mengacu pada “tanah ayahan desa” dan konsekuensinya. Sebagai wujud tanggung jawab dalam ngayah, ada beberapa kewajiban yang harus dijalankan oleh orang orang yang mendiami tanah ayahan, yaitu sebagai pengayah pura, pengayah banjar adat, dan pengayah puri/raja-raja karena sebagian tanah-tanah ayahan itu adalah pemberian dari raja.
Dari latar belakang sejarah ini, sering muncul pertanyaan, “apakah ngayah masih relevan untuk zaman sekarang? Jawabannya tentu saja “iya”.
Pada hakekatnya, aktifitas ngayah berpegang pada suatu rumusan filosofis yaitu “kerja sebagai ibadah” dan “ibadah dalam kerja”. Kita sebagai umat Hindu di Bali agar tidak berfikir sempit mengenai makna dari ngayah ini. Ngayah dalam kontek budaya global atau pada zaman sekarang  dapat dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan asalkan kegiatan ini dilakukan dengan rasa tulus dan ikhlas, serta dapat dilakukan setiap saat, oleh siapapun, dan dimanapun. misalnya di lingkungan keluarga, di lingkungan rumah, di sekolah, dan lainnya.
Ngayah saat upacara keagamaan dapat berupa membuat upakara, membuat perlengkapan upacara, menari, membunyikan gamelan, melantunkan lagu-lagu keagamaan, membersihkan areal pura, dan lain sebagainya.
Kemudian dalam arti luas, ngayah dapat direfleksikan melalui menulis cerita-cerita ketuhanan, menulis buku-buku agama, dharma wacana, dan lainnya.
Berikut ilustrasi berupa gambar-gambar kegiatan ngayah dari berbagai sumber di google!

Ngayah Dalam Rangkaian Persiapan Pujawali Pura Luhur Batukau

Hasil gambar untuk dharma wacana

Hasil gambar untuk ngayah di pura


Adapun tujuan umat Hindu di Bali melakukan kegiatan ngayah, yaitu agar hubungan persaudaraan tetap erat dan membangun kebersamaan karena Bali juga menggunakan sistem “menyama braya”, ngayah sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, selain itu ngayah juga sebagai wujud implementasi nilai-nilai luhur Pancasila, dan masih banyak lagi nilai positif dari ngayah ini.
Jadi karena inilah budaya atau tradisi ngayah ini perlu dipertahankan. Namun bukan hanya sekedar ngayah saja, melainkan banyak pekerjaan lain yang dapat dilakukan, dengan catatan bahwa pekerjaan itu baik dan dilaksanakan sesuai ajaran Dharma. Dan janganlah kita melakukan pekerjaan orang lain dengan sempurna tetapi pekerjaan sendiri tidak dilakukan dengan sempurna. Dalam konteks ini, bukan berarti kita tidak boleh menolong sesama, tetapi yang dimaksud dalam hal ini adalah mengambil pekerjaan orang lain yang bukan merupakan tanggung jawab kita.
Demikian yang dapat penulis buat dengan merangkum dari berbagai sumber. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Tunggu postingan berikutnya ya....  : )

Om Santih Santih Santih Om


Ni Komang Ayu Wahyuni
( 1813051019 )

Selasa, 23 Oktober 2018

Kebudayaan Suku Toraja Dan Keunikannya

Kebudayaan Suku Toraja Dan Keunikannya

Suku Dunia ~ Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah  barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Adat Istiadat Suku Toraja

upacara-rambu-solo

Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruhprosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman bahkan selalu diajak berbicara.

Puncak dari upacara Rambu solo ini dilaksanakan disebuah lapangan khusus. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual, seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Selain itu, dalam upacara adat ini terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, diantaranya adu kerbau,kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum disembelih, dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian Toraja. Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule Tedong Bonga yang harganya berkisar antara 10 hingga 50 juta atau lebih per ekornya.

Rumah Adat Suku Toraja

rumah-tongkonan

Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja, terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkon” berasal dari bahasa Toraja yang berarti tongkon “duduk”. Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena melambangkan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Kesenian Suku Toraja

ukiran-kayu-suku-toraja

Tanah toraja adalah salah satu daerah yang terkenal akan ukirannya. Ukiran ini menjadi kesenian khas suku bangsa Toraja di Sulawesi Selatan. Ukiran dibuat menggunakan alat ukir khusus di atas sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela, atau pintu. Bukan asal ukiran, setiap motif ukiran dari Tana Toraja memiliki nama dan makna khusus. Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja. Selain itu, ukiran Tana Toraja memiliki sifat abstrak dan geometris. Tumbuhan dan hewan sering dijadikan dasar dari ornament Toraja.

Pakaian Adat Suku Toraja

pakaian-adat-suku-toraja

Pakaian adat pria Toraja dikenal dengan Seppa Tallung Buku, berupa celana yang panjangnya sampai di lutut. Pakaian ini masih dilengkapi dengan asesoris lain, seperti kandaure, lipa', gayang dan sebagainya. Baju adat Toraja disebut Baju Pokko' untuk wanita. Baju Pokko' berupa baju dengan lengan yang pendek. Warna kuning, merah, dan putih adalah warna yang paling sering mendominasi pakaian adat Toraja. Baju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang.
 
Penulis : Sandi Sadaq
NIM     : 1813051024

Senin, 22 Oktober 2018

SASIH KENEM MELAKSANAKAN UPACARA NANGLUK MERANA

SASIH KENEM MELAKSANAKAN UPACARA NANGLUK MERANA

 Hasil gambar untuk sasih keenam
Seperti halnya wewaran, wuku, tanggal panglong semuanya mempunyai perhitungan ala-ayu (baik-buruk) maka sasih pun mempunyai perhitungan ala ayu. Misalnya pada waktu bergerak saat wiswayana (saat berada di tengah) kemudian bergerak ke utara (uttarayana) dan kemudian bergerak ke arah selatan (daksinayana). Maka secara umum sasih uttarayana dianggap sasih yang bersih dan daksinayana dianggap sasih kotor. Daksinayana jatuh pada sasih kanem, kapitu, kawulu, dan ini adalah sasih yang baik untuk nangkluk merana atau membuat upacara bhuta yadnya.
Umumnya desa-desa di Bali menggelar upacara nangluk merana pada saat sasih kenem. Orang awam memahami upacara ini sebagai ritual untuk mengusir hama dan memohon anugerah Ida Ratu Gede Macaling, penguasa laut selatan yang berstana di Pura Penataran Ped, Nusa Penida, agar dijauhkan dari segala jenis penyakit.
Biasanya, upacara nangluk merana dilaksanakan saat Tilem Kanem, ada juga yang memilih melaksanakan upacara nangluk merana Kajeng Klwion Enyitan atau Kajeng Kliwon Uwudan Sasih Kanem. Pada Tahun ini, Tilem Kenem dan Kajeng Kliwon sasih kenem bertepatan jatuh pada tanggal 1 Januari 2014. Tentunya, hari ini adalah hari yang sangat baik sekali untuk melaksanakan upacara nangluk merana atau bhuta yadnya.
Upacara nangluk merana umumnya dilaksanakan krama subak di seluruh Bali. Upacara dilaksanakan di pura-pura yang berstatus sebagai pura subak, terletak di tepi pantai. Karena itu pula, upacara nangluk merana biasanya terkosentrasi di Puta Watu Klotok, Pantai Lebih, Puru Ulun Subak Bukit Jati, Pura Masceti, Pura Erjeruk, Pura Petitenget, Pura Rambut Siwi, Pura Tanah Lot, dan pura-pura sejenisnya. Pelaksanaan upacara nangluk ini disesuaikan dengan desa kala patra, tempat, waktu dan tradisi yang sudah berjalan di masing-masing daerah di Bali. Upacara nangluk yang unik ada di Tabanan, dalam prosesi upacara nangluk merana masyarakat menggayot raja (Tjokorda) untuk mengelilingi sekitaran sawah.
Berdasarkan sumber yang di baca, Pelaksanaan Nangkluk Merana yang dilakukan masyarakat ini telah ada sejak zaman Rsi Markandya. Makna dan fungsinya sangat jelas untuk melaksanakan keselamatan lahir dan batin. Semua itu ada dalam sastra Lontar Purwaka Bumi. Di samping itu tujuan ritual tersebut juga untuk memohon berkah kesuburan. Terlebih lagi, dalam pergantian sasih ini harus dimaknai dengan baik, dilaksanakan dengan lascarya, ngaturan bakti dan banten, memohon keselamatan agar terjadi penetralan kesimbangan sesuai dengan ajaran dan Lontar Cuda Mani.
Mengacu pada sumber sastra lainnya, dalam hubungan dengan upacara nangluk merana di antaranya bersumber dari Purana Bali Dwipa. Pada intinya sumber itu mengatakan, ketika Raja Sri Aji Jayakasunu mendapat petunjuk dari Hyang Maha Kuasa berbunyi sebagai berikut: “Malih aja lali ring tatawur ring sagara, manca sanak, nista Madhya, uttama, nangken sasih kanem, kapitu, kaulu, pilih tunggil wenang maka panangluk mrana aranya. Yan sampun nangluk mrana, gring tatumpur tikus, walang sangit, mwah salwiring mrana ring desa, mwang ring sawah tan pa wisya, apan sampun hana labanya, wetning salwiring mrana saking samudra datengnya.”
Artinya, Dan jangan lupa melaksanakan kurban (tawur) di laut amanca sanak, tingkat kecil, sedang, utama, tiap-tiap bulan Desember, Januari, Februari salah satu di antaranya dapat dipilih untuk dilaksanakan sebagai penolak hama dan bencana. Bilamana sudah melaksanakan upacara nangluk merana, penolak hama dan penyakit di sawah, maka tikus walang sangit, segala bentuk hama di tingkat desa maupun sawah tidak akan berbahaya, karena sudah dibuatkan upacara. Oleh karena segala wabah dari laut sumbernya.
Ritual nangluk merana semestinya dimaknai menyelusup jauh pada laku diri. Nangluk merana sebagai ritual menjaga keseimbangan alam semestinya kita ditindaklanjuti dengan laku diri secara nyata untuk menjaga lingkungan. Tak perlu yang berat-berat, mulailah dengan cara-cara teramat sederhana: jangan membuang sampah sembarangan, jaga kebersihan selokan, bersihkan sungai dan lainnya. Jika sudah begitu, tentu penyakit dengan sendirinya tak berani mendekat. Itulah anugerah paling nyata dari Ida Ratu Gde Mecaling.

Kenapa Masyarakat Bali Memberi Perhatian Pada Saat Sasih Kenem?

Manusia Bali memberi perhatian khusus pada Sasih Kanem. Sasih Kanem kerap kali paling ”ditakuti”. Sasih Kanem dimaknai awam sebagai awal merebaknya aneka penyakit atau pun hama. Banyak orang jatuh sakit. Begitu juga tanaman tak sedikit yang rusak dimakan hama.
Memang, dalam tradisi wariga Bali, Sasih Kanem merupakan saat Dewi Durga beryoga. Sasih Kanem juga berada dalam naungan kuasa Batara Guru (Siwa). Kini, Dewa Siwa tengah menguasai arah barat daya.
Bila saat sasih Kanem terjadi gempa bumi, ramalan tradisional Bali menyebutkan akan banyak orang susah menjalani hidup. Manusia menjadi liar. Karena itulah, Anda diingatkan untuk waspada berbicara. Jika sampai pembicaraan Anda membuat telinga orang panas, keributan akan mudah tepantik. Bencana alam pun biasanya mengintai dan pencuri bergentayangan tanpa rasa takut.
Secara faktual, Sasih Kanem merupakan musim pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Hujan yang turun pada Sasih Kanem lebih lebat dari pada hujan saat Sasih Kalima. Musim pancaroba tentu saja berdampak pada kondisi alam. Pada akhirnya, kondisi alam yang berubah itu berakibat juga pada kondisi manusia. Jika daya tahan tubuh tidak cukup kuat, maka sakit akan amat mudah menghampiri. Lantaran hujan mulai turun, udara mulai terasa lembap. Matahari kerap pula terselimuti mendung. Akibatnya suhu udara menjadi gerah. Kondisi ini tentu mudah memicu sakit flu, demam atau pun batuk-batuk.
Terlebih lagi, pada Sasih Kanem ini, lalat kian berbiak saja. Lalat merupakan salah satu spesies penyebar penyakit. Pasalnya, lalat dengan mudah hinggap di tempat-tempat paling kotor tetapi juga pada saat yang tidak lama bisa dengan mudah hinggap di tempat makanan.
Karena itu,sangat penting artinya memperhatikan kebersihan lingkungan sepanjang Sasih Kanem ini. Sanitasi mesti dijaga agar benar-benar bersih. Jangan juga membiarkan makanan terbuka hingga mudah dihinggapi lalat.
Pada Sasih Kanem bukan hanya manusia dan hewan yang mudah terserang penyakit. Tanam-tanaman juga amat gampang dirajam hama sepanjang Sasih Kanem ini. Karenanya, pada Sasih Kanem orang Bali biasanya melaksanakan upacara nangluk merana, upacara mengusir hama.
Akan tetapi, Sasih Kanem juga merupakan saat tepat untuk mulai meladang. Hujan pertama Sasih Kanem akan menyegarkan Ibu Bumi. Sang pengabdi Ibu Bumi, para petani, para peladang biasanya akan mencangkuli tanah pada Sasih Kanem.
Namun, untuk melaksanakan upacara yadnya yang direncanakan (ngewangun) semisal upacara pawiwahan (pernikahan), ngaben maupun ngenteg linggih, umumnya akan menghindari Sasih Kanem. Anda disarankan untuk menunda dulu upacara-upacara tersebut minimal sebulan dengan mencari Sasih Kapitu. Yang paling baik, disarankan mencari Sasih Kadasa. Sasih Kanem biasanya dijadikan saat tepat untuk melaksanakan upacara bhuta yadnya, seperti macaru. sasih karo baik untuk pitra yajña, sasih caitra baik untuk bhuta yajña. Sasih kapat dan kadasa baik untuk upacara dewa yajña, sehingga saat purnamaning kapat dan kadasa kita melihat umat Hindu melaksanakan upacara odalan pada pura-pura besar seperti : khayangan jagat, sad khayangan, dang khayangan, khayangan tiga dan sebagainya. Masih banyak lagi padewasan memperhitungkan ala ayuning sasih.

Nama : Putu Dedi Ambara Yuda
NIM   :  1813051007
 

Tari Kecak

Tari Kecak

Tari Kecak biasa disebut Tari Cak atau tari api. Tarian ini merupakan tarian pertunjukkan hiburan masal yang menggambarkan seni peran dan tidak diiringi oleh alat musik atau gamelan. Namun, hanya diiringi oleh paduan suara sekelompok penari laki-laki berjumlah sekitar 70 orang yang berbaris melingkar memakai kain penutup kotak-kotak berbentuk papan catur. Tarian ini sangat sakral, terlihat dari penarinya yang terbakar api, namun mengalami kekebalan dan tidak terbakar.
Tari Kecak juga sering disebut Tari Sanghyang yang dipertunjukkan sewaktu-waktu untuk upacara keagamaan. Penari biasanya kemasukan roh dan bisa berkomunikasi dengan para dewa atau para leluhur yang telah disucikan. Penari tersebut dijadikan sebagai media untuk menyatakan sabda-Nya. Saat kerasukan, mereka juga akan melakukan tindakan yang di luar dugaan, seperti melakukan gerakan berbahaya atau mengeluarkan suara yang mereka tidak pernah keluarkan sebelumnya.

Asal mula nama Kecak

Wayan Limbak merupakan sosok yang menciptakan Tari Kecak. Pada tahun 1930, Limbak sudah mempopulerkan tarian ini ke mancanegara dan dibantu oleh Walter Spies, pelukis asal Jerman. Para penari laki-laki yang menari kecak akan meneriakkan kata ‘cak cak cak’. Dari situlah nama Kecak tercipta. Selain teriakan tersebut, alunan musik Tari Kecak juga berasal dari suara kincringan yang diikatkan pada kaki penari pemeran tokoh-tokoh Ramayana.

Di dalam lingkaran, para penari lainnnya beraksi. Mereka memainkan tarian yang diambil dari episode cerita Ramayana yang berusaha menyelamatkan Shinta dari tangan jahat Rahwana. Tak jarang, Tari Kecak juga melibatkan pengunjung yang tengah menonton aksi tarian tersebut.

Memiliki banyak fungsi dan pesan moral

1. Mengandung nilai seni tinggi

Meskipun nggak diiringi musik atau gamelan, tapi Tari Kecak tetap terlihat indah dan kompak. Gerakan yang dibuat para penarinya bisa tetap seirama! Itulah yang membuatnya bernilai seni tinggi dan dicintai oleh para turis. Meskipun turis yang menonton Tari Kecak bukan beragama Hindu, namun mereka tetap senang menonton Tari Kecak. Rasanya seperti ada yang kurang kalau ke Bali nggak nonton Tari Kecak!

2. Belajar mengandalkan kekuatan Tuhan

Di Tari Kecak, ada adegan di mana Rama meminta pertolongan pada Dewata. Hal itu membuktikan bahwa Rama memercayai kekuatan Tuhan untuk menolomg dirinya. Tari Kecak juga dipercaya sebagai salah satu ritual untuk memanggil dewi yang bisa mengusir penyakit dan melindungi warga dan kekuatan jahat. Dewi yang biasanya dipanggil dalam ritual tersebut adalah Dewi Suprabha atau Tilotama.

3. Banyak pesan moral

Tari Kecak memiliki cerita mendalam dan menyampaikan pesan moral untuk penontonnya. Seperti, kesetiaan Shinta pada suaminya Rama. Juga Burung Garuda yang rela mengorbankan sayapnya demi menyelamatkan Shinta dari cengkeraman Rahwana. Dari cerita itu, kita juga diajarkan agar tidak memiliki sifat buruk seperti Rahwana yang serakah dan suka mengambil milik orang lain secara paksa.



Penulis : I Komang Darma Putra
NIM     : 1813051004

DRAMA TARI CALONARANG


DRAMA TARI CALONARANG

Pementasan drama tari calon arang yang sudah dilakukan selama puluhan tahun lamanya di Bali, merupakan salah satu tari yang bersifat spiritual selain sebagai hiburan bertema horor. Tari calon arang dipentaskan dalam upacara Odalan di pura Dalem (pura tempat berstananya Dewa Siwa dan istrinya Dewi Durga). Pementasan drama tari ini pun dilakukan pada tengah malam, tanpa nyala lampu sedikit pun, di pinggir kuburan dekat pura Dalem. Sehingga bisa dibayangkan horornya menonton pementasan drama tari ini, apalagi dengan adegan-adegan tertentu yang mampu membuat bulu kuduk berdiri. Namun pementasan drama tari ini selalu ditunggu masyarakat Bali karena mampu memberikan hiburan yang menaikkan adrenalin dan menjadi salah satu prasyarat spiritual dalam menutup upacara Odalan di pura Dalem. Kisah mistis apa saja yang terdapat dalam pementasan drama tari ini?  
Drama tari yang sebenarnya inti sarinya berkisah tentang kematian akibat ilmu hitam dan kemudian  dilawan dengan ajaran agama ini memang sangat relevan dipentaskan dalam upacara di pura Dalem untuk memuliakan Dewa Siwa yang bertugas mencabut nyawa manusia dan mengayomi para arwah setelah meninggal, dengan istrinya Dewi Durga, dewi yang mengayomi manusia penggemar dunia mistik, baik yang bersifat baik maupun jahat.
Kemistisan drama tari ini salah satunya karena menyertakan adegan kematian yang dipentaskan secara live oleh seorang penari khusus. Penari yang mementaskan adegan ini adalah seseorang yang memang memiliki kelebihan (taksu) tertentu, sebab konon penari ini memang betul-betul “meninggal” pada saat pentas, namun kemudian “dihidupkan” kembali pada adegan lainnya. Jika apes, penari ini bisa tidak “bangun” lagi alias meninggal betulan! Dalam masyarakat Bali kisah-kisah kematian dengan cara seperti ini dianggap hal lumrah, sebab si penari memang sudah “ditunjuk” oleh Tuhan dan jika setiap saat nyawanya hilang akibat kerja luhur/suci ini, maka ia pun telah siap. Keluarga dan handai taulan tidak pernah meributkan atau mempermasalahkannya sebab meninggal akibat menari spiritual sejenis ini, dianggap sebagai pengorbanan suci (yadnya).
Kisah mistis lainnya dalam drama tari ini adalah adegan para murid yang mempelajari ilmu hitam dengan gurunya yaitu Si Calon Arang. Para penari ini benar-benar mengalami kesurupan seperti para murid ilmu hitam yang nyata. Adegan ini pun mengundang para “leak” atau manusia yang suka dengan ilmu hitam untuk datang, sehingga adalah hal lumrah terjadi pemandangan mistis, di mana terjadi bola-bola api yang meluncur di sekitar kuburan atau yang disebut “perang api”. Bola-bola api yang meluncur di udara itu diyakini sebagai wujud lain dari “leak”. Bola-bola api ini dapat dilihat dengan mata telanjang oleh para penonton, dan sampai saat ini belum didengar kabar dapat melukai penonton. Bola api hanya “berperang” dengan sesama bola api lainnya.
Kisah mistis lainnya adalah adanya larangan bagi penonton untuk pulang di tengah drama tari ini. Seorang penonton harus siap mengikuti adegan demi adegan dari awal hingga akhir (tengah malam hingga dini hari, pukul 4 atau 5 pagi). Jika seorang penonton pulang atau meninggalkan areal sebelum drama tari ini berakhir, maka si penonton mesti siap “dicegat”  oleh para “leak”. Tentu saja horor jika sampai dihadang “leak” di jalan, kan? Sehingga tak heran para penonton dengan tekun mengikuti gelar drama ini, dan tentu saja anak-anak dan bagi pengidap jantung dilarang menonton drama ini.
Selain hal-hal di atas, rumah-rumah di sekitar areal pementasan dilarang menghidupkan lampu, sebab para “leak” memang sangat menyukai keadaan gelap gulita. Jika ada nyala lampu, maka ilmu hitam mereka tidak “jadi” alias melempem. Demikian pula tidak ada satu kendaraan pun yang diijinkan lewat di jalan umum yang melalui areal pekuburan. Suara bising serta nyala lampu kendaraan dapat pula menganggu konsentrasi para “leak”. Para pelanggar tentu saja mesti bersiap dicari atau dihadang para “leak”. Mau?
Demikianlah beberapa cerita mistis dibalik pementasan drama tari Calon Arang. Pada intinya masyarakat Bali bukanlah pemuja setan sebab mementaskan adegan-adegan ilmu hitam serta secara tidak langsung “mengundang” para penggemar ilmu hitam (leak) untuk hadir. Namun dalam filosofi budaya Hindu Bali, dipercayai bahwa dunia ini terdiri dari dunia yang hitam (ilmu hitam) dan putih (ilmu putih). Kedua dunia yang hitam-putih itu menciptakan harmoni (balance) dalam kehidupan. Kedua ilmu hitam dan putih itu, yang akan menimbulkan kesucian pada dunia ini. Pada akhirnya dipercayai bahwa ilmu putihlah yang menang, seperti juga yang tertuang pada epilog drama tari Calon Arang ini.    
Ada pun cerita rakyat yaitu penyalonarangan di kisahkan ada seorang janda bertahta di alas dirah dengan gelar Walunateng Dirah artinya walu artinya balu, nata artinya ratu/raja, ing artinya di  alas dirah, jadiwalunateng dirah artinya raja balu yang ada di alas dirah dimana bliau memiliki anak perempuan yang bernama diah Ratna Manggli. Dimana prabu Erlangga ingin meminamg Ratna Manggali taulah semua patih-patih yang ada di kerjaaan Kediri Raja maka pada saat itu lah mengadakan paruman/ rapat, maka salah satu patih mereka yaitu patih madri tidak setuju meminang Ratna Manggali karena ibunya menjalankan ajaran ilmu hitam . pada saat itulah patih Madri di tunjuk untuk membatalkan peminangan Ratna Manggali  ke alas dirah maka pertemu dengan ibunya yaitu Walu Natengnirah  maka marahlah ibunya Ratna Manggali  ingin membunuh patih Madri  dan di kerahkan anak buahnya sperti: lenda-lendi, waksirsa mahesa wedana, jaran guyang, untuk mencegat patih Madri di perbatasan dan d pimpin oleh rarung maka terbunuhlah patih Madri, berubah ujud menjadi burung garuda mas maka di patuklah mata sang patih Madrid an meningga lah  dibuat kerjaan kedirriya  raja di buatlah wabah penyakit maka semuanya mati maka satu-satunya hidup adalah patih taskara meguna maka patih ini membela kerajaan Kediri raja untuk membunuh Walunateng Dirah  maka semua ini berubah wujud Walunatengdirah menjadi rangda(calonarang) sedangkan patih taskara guna menjadi barong (bandas pati raja) maka kekuatan positif negaitif bergolak. Maka yang menang adalah kebenaran satyam eva janti artinya kebenaran pasti akan menang.



ADAPUN LAKON-LAKON  DALAM  PEMENTASAN CALONARANG
1.      Barong melmbangkan kebenaran (bandas pati raja)
2.      Telek melambangkan dewata yang turun dari sorga memberikan anugrah alam semesta
3.      Jauk keras melambangkan keraksaan
4.      Sisya sebagai murid walunatengdirah
5.      Penasar dan wijil abdi
6.      Madri patih Kediri raja
7.      Prabu erlangga raja
8.      Mayata\watangan sebagai penyupatan wabah penyakit
9.      Bondres/rakyat pelengkap
10.  Patih taskara guna
11.  Barong dan rangda perpaduan energy negative dan positif

Karena da cerita calonarang ada kekuatan mgic \ mistis  maka perlu suatu pengundangan atau pinisepuh yang tujuan untuk memberikan penjelasan bahwa ilmu hitam itu melanggar ajaran agama.

Hasil gambar untuk calonarang



(GAMBAR BANDAS PATI RAJA (BARONG) DAN RANGDA )

Penulis : Ni Made Ayu Sancita Sari
NIM     : 1813051005

    "MEKOTEK"TRADISI PENOLAK BALA DESA MUNGGU


     "MEKOTEK"TRADISI PENOLAK BALA DESA MUNGGU

Setiap 6 bulan sekali atau 210 hari (berdasarkan Kalender Bali) pada hari Sabtu Kliwon Kuningan tepat di hari raya Kuningan dilakukan Upacara Mekotek. Mekotek adalah salah satu tradisi tolak bala dari Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali. Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuan memohon keselamatan. Upacara Mekotek juga dikenal dengan istilah ngerebek. Mekotek merupakan warisan leluhur yang dilaksanakan turun temurun hingga saat ini oleh umat Hindu di Bali khususnya Desa Munggu.

Hasil gambar untuk mekotekan

Pada awalnya Mekotek dilakukan untuk menyambut prajurit Kerajaan Mengwi yang datang dengan membawa kemenangan atas Kerajaan Blambangan di Jawa dan kemudian menjadi tradisi hingga sekarang. Pada masa pemerintahan Belanda tahun 1915, Mekotek pernah dihentikan, karena Belanda khawatir akan ada pemberontakan. Namun, terjadi wabah penyakit sehingga Mekotek dilaksanakan lagi untuk tolak bala.
       Dahulu, perayaan Mekotek menggunakan besi, yang memberikan semangat juang untuk ke medan perang atau dari medan perang. Namun, karena banyak peserta yang terluka, maka tombak dari besi tersebut diganti dengan tongkat dari kayu pulet yang sudah dikupas kulitnya dan diukur panjangnya sekitar 2-3,5 meter. Para peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat madya yaitu kancut dan udeng batik dan berkumpul di Pura Dalem Munggu. Setelah berkumpul, mereka melakukan persembahyangan dan ucapan terima kasih atas hasil perkebunan. Setelah itu, seluruh peserta melakukan pawai menuju sumber air di Desa Munggu. Upacara ini diikuti oleh 2000 peserta, yakni penduduk Munggu yang terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari usia 12 hingga 60 tahun. Para peserta dibagi dalam kelompok-kelompok yang setiap kelompok terdiri dari 50 orang.

 Hasil gambar untuk mekotekan
Tongkat kayu yang dibawa, diadu di atas udara membentuk piramida atau kerucut. Bagi peserta yang punya nyali, naik ke puncak kumpulan tongkat kayu tersebut dan berdiri diatasnya dan memberikan komando semangat bagi kelompoknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok lain. Komando yang diberikan oleh orang yang berada di puncak tongkat adalah menabrak kumpulan tongkat lawan atau kelompok lain. Tradisi Mekotek ini diiringi dengan gamelan untuk menyemangati para peserta.


Penulis : I Made Oka Satria Dwipayana
NIM      : 1813051008

Minggu, 21 Oktober 2018

TRADISI SIAT TIPAT BANTAL

TRADISI PERANG TIPAT BANTAL

Bali memang kaya dengan tradisi yang unik. Salah satunya adalah tradisi Aci Tabuh Rah Pangangon atau yang kerap disebut siat tipat bantal. Tradisi yang sudah ada semenjak puluhan abad ini dilaksanakan setiap Purnama Kapat atau bulan purnama keempat dalam perhitungan Bali oleh Desa Adat Kapal, Mengwi, Badung. Meski dilaksanakan setiap tahun, namun kemeriahan dan keseruannya tak pernah habis. Seperti diketahui, siat tipat mulai dilaksanakan sejak tahun 1339 silam. Saat itu, kedatangan Patih Raja Bali Dinasti Singhasari terakhir, yakni Ki Kebo Waruya, beliau menerima mandat dari Raja Bali yang bernama Asta Sura Ratna Bumi Banten untuk menerenovasi Pura Purusada di Desa Kapal. Setibanya di Desa Adat Kapal beliau tergerak hatinya, karena melihat kondisi desa yang mengalami musim paceklik.
Melihat kondisi tersebut, beliau pun kemudian memohon kehadapan Ida Bhatara yang berstana di Candi Rara Pura Purusada agar berkenan melimpahkan waranugraha atau anugerah. Setelah memohon hal tersebut, beliau diberikan petunjuk agar melakukan upacara Aci yang dipersembahkan kepada Bhatara Siwa dengan menggunakan sarana tipat dan bantal yang diikuti oleh seluruh krama desa adat kapal untuk melaksanakannya.Tradisi Perang Tipat Bantal di Desa Kapal berlokasi di Mengwi, Kabupaten Badung Bali, Perang Tipat-Bantal adalah sebuah tradisi tahunan yang digelar sejak tahun 1337 oleh masyarakat lokal di Desa Adat Kapal. Perang Tipat Bantal ini adalah tradisi yang tergolong unik yang dilakukan masyarakat di Desa Kapal , sesuai perintah (Bhisama) Kebo Iwa semenjak tahun 1341 Masehi yang merupakan ungkapan syukur warga kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi atas rezeki dan nikmat yang telah diberikan, kepercayaan tersebut dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi dan sampai saat ini tradisi perang tipat bantal masih berlangsung sampai saat ini.

Ritual perang tipat bantal tahunan ini dilaksanakan atau berlokasi di Pura Desa Kapal. Ritual perang tipat bantal ini ditujukan kepada masyarakat Desa Kapal untuk melakukan “tajen pengangon” untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk umat manusia. Tradisi ini juga sering disebut “Aci Rah Pengangon” oleh masayarkat setempat. Ritual yang berlangsung di Pura Kapal ini diawali dengan upacara persembahyangan bersama yang dilakukan oleh seluruh warga desa. Pada upacara ini pemangku desa adat akan memercikan air suci untuk memohon keselamatan seluruh warga dan juga para peserta yang akan melakukan perang tipat bantal. Para peserta Tipat Bantal perlahan akan melepas baju dan telanjang dada lalu mereka akan membuat dua kelompok dan berdiri saling berhadapan, lalu di depan mereka telah tersedia tipat (kertupat) dan juga bantal (jajanan khas bali). Setelah itu ketika aba aba telah dimulai para peserta Perang Tipat Bantal mulai melemparkan tipat dan bantal itu pada kelompok yang yang ada di depan mereka, suasana hiruk pikuk itu pun mulai terasa ketika tipat dan bantal mulai beterbangan di udara, lalu jika dirasa sudah cukup, Perang Tipat Bantal di hentikan sementara laluPerang Tipat Bantalpun dilanjut di jalan raya yang tak lain di depan pura, sama halnya seperti tadi, para pemain Perang Tipat Bantal akan membuat 2 formasi dan kembalilah Perang Tipat Bantal dimulai, kali ini suasananya lebih gempar karena para pemainnya melempar tipat bantalnya dengan membabi buta sambil berteriak dan bersorak. upacara tersebut bertujuan untuk mohon kesejahteraan bagi seluruh krama desa adat Kapal. Di samping itu, tipat dan bantal adalah simbol pradhana (perempuan) dan purusha (laki-laki). “Dilemparnya bantal dan tipat bertujuan untuk mempertemukan kedua simbol purusha dan pradhana . pertemuan keduanya akan menghasilkan kesuburan dan kesejahteraan,”
Perang Tipat Bantal ini akan semakin terasa menarik ketika para penonton yang berada di trotoar jalan juga ikut melempar tipat bantal, kadang para penonton akan terkena serangan tipat bantal yang entah datangnya darimana, jika terkena lemparan tipat atau bantal akan terasa sangat sakit, tapi tidak seorangpun yang merasa marah, karena perang tipat bantal ini dilakukan dengan suka cita .
“Tipat merupakan lambang feminim dan bantal merupakan lambang maskulin atau gentle man”. Maka dari itu perang tipat bantal ini bermakna bahwa pertemuan antara tipat dan bantal ini merupakan pertemuan antara laki laki dan perempuan ketika bertemu akan melahirkan kehidupan.


Penulis : I Gusti Ngurah Putu Arya Sentosa

Seni Budaya Bali

SENI TRADISI DI BALI         TARI BARIS GEDE Sumber : Bali media info : Baris Gede Tari Baris Gede merupakan salah sat...